HUKUM MLM (Multi Level Marketing)
A. Pengertian MLM
Secara umum ‘Multi Level
Marketing' adalah suatu cara perniagaan alternatif yang berkaitan dengan
pemasaran yang dilakukan melalui banyak level (tingkatan), yang biasa dikenal dengan
istilah ‘Upline' (tingkat atas) dan ‘Downline' (tingakt bawah), orang akan
disebut ‘Upline' jika mempunyai ‘Downline'. Pokok utama dari perniagaan MLM ini
digerakkan dengan sistem jaringan, ada yang bersifat ‘vertikal' atas bawah
maupun ‘horizontal kiri kanan' ataupun gabungan antara keduanya.
B. Hukum Multi
Level Marketing Menurut Para Ahli
untuk
mengetahui kebenaran dan peduli dalam membedakan halal dan haram adalah masalah
Multi Level Marketing (MLM). Transaksi dengan sistem MLM ini telah merambah di
tengah manusia dan banyak mewarnai suasana pasar masyarakat. Maka sebagai
seorang pebisnis muslim, wajib untuk mengetahui hukum transaksi dengan sistem
MLM ini sebelum bergelut didalamnya. Sebagaimana prinsip umum dari ucapan ‘Umar
radhiyallahu’anhu:
“Jangan ada yang bertransaksi di pasar kami kecuali orang yang telah paham agama.”
(Dikeluarkan oleh At-Tirmidzy dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany)
“Jangan ada yang bertransaksi di pasar kami kecuali orang yang telah paham agama.”
(Dikeluarkan oleh At-Tirmidzy dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany)
Maksud
dari ucapan ‘Umar adalah bahwa seorang pedagang muslim hendaknya mengetahui
hukum-hukum syariat tentang aturan berdagang atau transaksi dan mengetahui
bentuk-bentuk jual-beli yang terlarang dalam agama. Dangkalnya pengetahuan
tentang hal ini akan menyebabkan seseorang jatuh dalam kesalahan dan dosa.
Sebagaimana telah kita saksikan tersebarnya praktek riba, memakan harta manusia
dengan cara yang batil, merusak harga pasaran dan sebagainya dari bentuk-bentuk
kerusakan yang merugikan masyarakat, bahkan merugikan negara.
Maka
pada tulisan ini, kami akan menampilkan fatwa ulama terkemuka di masa ini.
Mereka yang telah di kenal dengan keilmuan, ketakwaan dan semangat dalam membimbing
dan memperbaiki umat.
Walaupun
fatwa yang kami tampilkan hanya fatwa dari Lajnah Da’imah, Saudi Arabia,
mengingat kedudukan mereka dalam bidang fatwa dan riset ilmiah. Namun kami juga
mengetahui bahwa telah ada fatwa-fatwa lain yang sama dengan fatwa Lajnah
Da’imah tersebut, seperti fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy (Perkumpulan Fiqh
Islamy) di Sudan yang menjelaskan tentang hukum Perusahaan Biznas (Salah satu
nama perusahaan MLM).
Fatwa
Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan ini dikeluarkan pada tanggal 17 Rabi’ul Akhir
1424 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juni 2003 M pada majelis no. 3/24.
kesimpulan dari fatwa mereka dalam dua poin-sebagaimana yang disampaikan oleh
Amin ‘Am Majma Al-Fiqh Al-Islamy Sudan, Prof. DR. Ahmad Khalid Bakar-sebagai
berikut:
“Satu,
sesungguhnya bergabung dengan perusahaan Biznas dan yang semisal dengannya dari
perusahaan-perusahaan pemasaran berjejaring (MLM) tidak boleh secara syar’i karena hal tersebut adalah qimar.
Dua, Sistem perusahaan Biznas dan yang semisal dengannya dari
perusahaan-perusahaan berjejaring (MLM) tidak ada hubungannya dengan akad
samsarah-sebagaimana yang disangka perusahaan (Biznas) itu dan sebagimana
mereka mengesankan itu kepada ahlul ilmi yang memberi fatwa boleh dengan alasan
itu sebagai samsarah di sela-sela pertanyaan yang mereka ajukan kepada ahlul
ilmi tersebut dan telah digambarkan kepada mereka perkara yang tidak
sebenarnya-.”
Fatwa
Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan di atas dan pembahasan bersamanya telah dibukukan
dan diberi catatan tambahan oleh seorang penuntut ilmu di Yordan, yaitu syaikh
‘Ali bin Hasan Al-Halaby.
Sepanjang
yang kami ketahui, belum ada dari para ulama yang membolehkan sistem Multi
Level Marketing ini. Memang ada sebagian dari tulisan orang-orang yang memberi
kemungkinan bolehnya hal tersebut, tapi datangnya hanya dari sebagian para
ulama yang digambarkan kepada mereka sistem MLM dengan penggambaran yang tidak
benar-sebagaimana dalam Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy-atau sebagian orang yang
sebenarnya tidak pantas berbicara dalam masalah seperti ini.
A. Analisis Kami Mengenai Hukum MLM
Menurut kami
bisnis mlm termasuk kategori muamalah. Berbicara mengenai masalah mu’amalah, Islam sangat
menekankan pentingnya peranan akad dalam menentukan sah tidaknya suatu
perjanjian bisnis. Yang membedakan ada tidaknya unsur riba dan gharar
(penipuan) dalam sebuah transaksi adalah terletak pada akadnya. Sebagai contoh
adalah akad murabahah dan pinjaman bunga dalam bank konvensional. Secara
hitungan matematis, boleh jadi keduanya sama. Misalnya, seseorang membutuhkan
sebuah barang dengan harga pokok Rp 1000. Jika ia pergi ke bank syariah dan
setuju untuk mendapatkan pembiayaan dengan pola murabahah, dengan marjin profit
yang disepakatinya 10 %, maka secara matematis, kewajiban orang tersebut adalah
sebesar Rp 1100. Jika ia memilih bank konvensional, yang menawarkan pinjaman
dengan bunga sebesar 10 %, maka kewajiban yang harus ia penuhi juga sebesar Rp
1100. Namun demikian, transaksi yang pertama (murabahah) adalah halal, sedangkan
yang kedua adalah haram. Perbedaannya adalah terletak pada faktor akad. Bisnis MLM yang sesuai syariah
adalah yang memiliki kejelasan akad.
Jika
akadnya murabahah, maka harus jelas barang apa yang diperjualbelikan dan berapa
marjin profit yang disepakati. Murabahah adalah menjual suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga
yang lebih sebagai laba. Misalnya A membeli produk dari PT.MLM. Kemudian A
menjual kepada B dengan mengatakan, “Saya menjual produk ini kepada anda dengan
harga Rp 11.000,-. Harga pokoknya Rp 10.000,- dan saya ambil keuntungan Rp
1.000,-. Selanjutnya B tidak dapat langsung bertransaksi dengan PT.MLM. Jika B
mau menjual kepada C, maka prosesnya sama dengan A (keuntungan yang hendak
diambil terserah kepada B).
Jika
akadnya mudarabah, maka harus jelas jenis usahanya, siapa yang bertindak
sebagai rabbul maal (pemilik modal) dan mudarib-nya (pengelola usaha), serta
bagaimana rasio bagi hasilnya. Mudharabah adalah Akad kerjasama suatu usaha
antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-maal, LKS) menyediakan
seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku
pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di
antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh
pemodal. Sebab, dalam mudharabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara
seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang
diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut
menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau
karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath,
Asy-Syarikat fî asy-Syari‘ah al-Islamiyyah, 2/66).
Mudharabah
sendiri terdiri dari Mudharabah Muqhthalaqah dan Mudharabah Muqayyadah. Misalnya
PT.MLM meminta A menjual produknya. Kemudian PT.MLM menyerahkan
barang-barangnya untuk dijual oleh A. Selanjutnya hak yang diperoleh A adalah
berdasarkan kesepakatan antara A dengan PT.MLM.
Mudhorobah
Muthlaqoh adalah kontrak mudhorobah yang tidak memiliki ikatan tertentu.
Sedangkan Mudhorobah Muqoyyadah adalah jenis mudhorobah yang pada akadnya
dicantumkan persyaratan-persyaratan tertentu. Misalnya PT.MLM meminta A menjual
produknya dengan syarat dijual kepada member dengan harga Rp 100.000,-.
Kemudian PT.MLM menyerahkan barang-barangnya untuk dijual oleh A. Jika A
menjual produk kepada member PT.MLM, maka ia harus menjual dengan harga Rp
100.000,-, sedangkan jika ia menjual kepada non member, maka ia bebas menjual
berapapun harga yang diinginkan A. Selanjutnya hak A adalah kesepakatan antara
A dan PT.MLM atas pembagian keuntungan dari penjualan produk kepada non member.
Yang
menjadi pertanyaan adalah, bagaimana jika A melakukan proses mudharabah kepada
B (sebagai downline nya) ?
Menurut
madzhab Hanafi hal ini tidak diperbolehkan kecuali jika produk itu diserahkan
kepada PT.MLM [pemilik modal]. Golongan ini berpendapat bahwa A [mudhorib
pertama] tidak bertanggung jawab terhadap produk yang diserahkannya kepada B
[mudhorib kedua] kecuali jika yang terakhir ini telah benar-benar melaksanakan
perniagaan dan mendapatkan keuntungan atau kerugian. Pembagian keuntungan di
sini adalah sebagai berikut. PT.MLM [pemilik modal] mendapatkannya sesuai
dengan kesepakatan antara dia dan A [mudhorib pertama]. Sementara itu bagian
keuntungan dari A [mudhorib] dibagi berdua dengan B [mudhorib yang kedua] sesuai
dengan porsi bagian yang telah disepakati antara keduanya [antara A dan B].
Berkaitan
dengan hak-hak A [mudhorib] yang dapat ia nikmati pada saat menjalankan usaha
yaitu, pertama, biaya operasi dan keuntungan yang disepakati dalam kontrak.
Hanafiyah tidak membolehkan A [mudhorib] menggunakan modal untuk biaya operasi
kecuali diizinkan oleh PT.MLM [pemodal]. Sedangkan jumhur ulama membolehkannya.
Adapun besarnya biaya operasi ini ditentukan oleh kebiasaan yang berlaku dengan
menghindari kemubadziran. Biaya operasi ini akan diambil dari keuntungan, jika
memang ada. Apabila ternyata usaha ini tidak mendapatkan keuntungan, maka hal
itu diambilkan dari modal karena merupakan bagian penyusutan dari modal. Kedua, A [mudhorib] mendapatkan
bagian keuntungan yang telah disepakati dalam kontrak jika memang menghasilkan
laba. Jika tidak ada laba, maka mudhorib tidak mendapatkan apa-apa.
Jika
akadnya adalah musyarakah, maka harus jelas jenis usahanya, berapa kontribusi
masing-masing pihak, berapa rasio berbagi keuntungan dan kerugiannya, dan
bagaimana kontribusi terhadap aspek manajemennya. Musyarakah adalah akad
kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (modal) dengan ketentuan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Misalnya PT.MLM bekerja sama dengan A untuk
menjual produknya. Dalam kesepakatan, PT.MLM menyediakan barang, sedang A
menanggung biaya transportasi pemasaran. Selanjutnya hak masing-masing dibagi
sesuai dengan kesepakatan.
Jika
akadnya ijarah, maka barang apa yang disewakannya, berapa lama masa sewanya,
berapa biaya sewanya, dan bagaimana perjanjiannya. Secara prinsip, Ijarah sama
dengan transaksi jual beli, hanya saja yang menjadi objek dalam transaksi ini
adalah dalam bentuk manfaat. Pada akhir masa sewa dapat saja diperjanjian bahwa
barang yang diambil manfaatnya selama masa sewa akan dijual belikan antara
pemilik barang dan penyewa yang menyewa (Ijarah muntahhiyah bittamlik/sewa yang
diikuti dengan berpindahnya kepemilikan).
Kalau
akadnya adalah akad wadi’ah atau titipan, maka tidak boleh ada tambahan
keuntungan berapapun besarnya. Secara istilah wadi’ah adalah memberikan
kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/barangnya dengan secara
terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu. Namun kalau orang
yang dititipkan barang/penjaga barang mengharuskan pembayaran, semacam biaya
administrasi misalnya, maka akad wadiah ini berubah menjadi “akad sewa”
(ijaroh) dan mengandung unsur kelaziman. Artinya penjaga barang harus menjaga
dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu penjaga
barang tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak karena dia sudah
dibayar.
Demikian
pula kalau bisnis tersebut dikaitkan sebagai sarana tolong menolong dengan
mekanisme infak dan shadaqah sebagai medianya, maka embel-embel pemberian
royalti harus dihindari. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya. Bisnis MLM
yang akadnya tidak jelas dan semata-mata hanya memanfaatkan networking,
merupakan salah satu bentuk money game yang dilarang oleh ajaran Islam.
Akhirulkalam,
semoga apa yang tertuang dalam tulisan ini ada manfaatnya untuk seluruh pembaca
dan membawa kebaikan untuk kita. Wallahula’lam
No comments:
Post a Comment