Categories

Sunday, 22 May 2016

KREDIT



DEFINISI KREDIT
Kredit adalah membeli barang dengan harga yang berbeda antara pembayaran dalam bentuk tunai, tunai dengan bila dengan tenggang waktu. Ini dikenal dengan istilah: bai` bit taqshid atau bai` bits-tsaman `ajil.
Atau dalam definisi lain. Kredit adalah menjual barang dengan tiada pembayaran tunai (jadi pembayarannya ditangguhkan atau diangsur) atau membeli dengan pembayaran yang ditagguhkan atau diangsur[1]. Dan dalam pengertian lain kredit yakni pinjaman uang dengan ppembayaran pengembalian secara mengangsur penambahan saldo rekening. Sisa utang, modal,pendapatan bagi penabung.
Kredit adalah “ Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. “(Undang- undang Perbankan No. 10 / 1998)
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kredit adalah suatu system pembayaran dalam jual beli yang pembayarannya dapat ditunda (dapat dicicil/ diangsur)  dalam jangka waktu tertentu.
Jual beli dalam fikih islam terkadang dilakukan dengan pembayaran kontan dari tangan ketangan dan terkadang dengan pembayaran dan penyerahan barang yang tertunda, hutang dengan hutang. Terkadang salah satu keduanya kontan dan yang lainnya tertunda. Kalau pembayaran kontan dan penyerahan barang tertunda , maka disebut jual beli As- Salm. Kalau penyerahan barangnya langsung dan pembayarannya tertunda, itu disebut jual beli Nasi’ah. Pembayaran tertunda itu sendiri terkadang dibayar dibelakang dengan sekalibayar sekaligus. Terkadang dibayar dengan cicilan, yakni dibayar dengan jumlah tertentupada waktu- waktu tertentu itu disebut jual beli taqsit atau kredit[2].

HUKUM JUAL BELI SECARA KREDIT
Para ulama telah bersepakat tentang dibolehkannya jual beli dengan pembayaran tertunda (Nasi’ah) karena banyak hadits- hadist yang tegas yang diriwayatkan tentang jual beli tersebut. Contohnya yang diriwayatkan oleh al bukhori dan muslim serta para perawi lainnya bahwa rasulullah SAW pernah membeli makanan dari orang yahudi dengan pembayaran tertunda. Beliau m,emberikan baju besinya sebagai jaminannya[3]
Dibolehkannya jual beli nasi’ah berarti juga dibolehkannya jual beli secara kredit. Karena jual beli kredit tidak lain adalah jual beli dengan pemnbayaran tertunda, hanya pembayarannya yang dicicil selama beberapa kali dalam waktu- waktu tertentu. Tidak ada perbedaan dalam hokum satu waktu atau pada beberapa waktu berbeda.
v  hukum jual beli kredit dengan tambahan harga karena penundaan
Telah dijelaskan bahwa asalnya jual beli kredit telah disepakati kehalalannya. Akan tetapikadang terjadi hal yang controversial dalam jual beli semacam ini yakni tambahan harga dengan penganti tenggang waktu. Misalnya harga suatu barang jika dibeli dengan harga kontan adalah Rp.100.000,00 lalu dibayar dengan cara kredit harganya menjadi Rp.110.000,00 pendapat yang benar para ulma adalah dibolehkan nya bentuk jual beli ini berdasarkan alasan keumuman dalil yang menetapkan dibolehkannya jual beli semacam ini. Penjualan secara kredit hanya salah satu bentuk jual beli yang disyari’atkan  (jual beli nasi’ah)
Dalam firman allah surah al baqarah ayat 282
‘’hai orang- orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya[4].Ayat diatas secara umum juga meliputi penjualan barang dengan pembayaran tertunda, yakni jual beli nasi’ah. Ayat ini juga meliputi hokum menjual barang yang berada dalam kepemilikan namun dengan penyerahan tertunda yakni jual beli As- Salm. Karena dalam jual beli As- Salm juga bisa dikurangi harga karena penyerahan barang yang tertunda, maka dalam jual beli nasi’ah juga boleh dilebihkan hargannganya karena pembayaran yang tertunda.
Dalam hadist lain
‘’emas boleh dijual dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,jewawut dengan jewawut, kurmaa dengan kurma, garam dengan garam asal sama ukuran atau takarnnya, diserahterimakan dan dibayar secara langsung kalau jenis yang satu dijual dengan jenis lain silahkan kalian menjualnya sehendak kalian, namun harus tetap pembayaran kontan[5].
Dalam hadist ini ada beberapa indikasi terhadap beberapa hal berikut:
Apabila emas dijual dengan emas, gandum dijual dengan gandum disyaratkan harus ada kesamaan ukuran atau takaran dan langsung diserahterimakan. Maka diharamkan adanya kelebihan beratatau takaran salah satu barang yang ditukar, dan juga diharamkan pembayaran tertunda.
Namun kalau emas ditukar dengan perak, atau kurma dengan jejawut hanya disyaratkan disyaratkan serah terima dan pembayaran langsung saja, namun tidak disyaratkan harus sama ukuran maupun  takarannya. Dibolehkan ketidaksamaan ukuran dan takaran karena perbedaan jenis, namun tetap diharamkan penangguahn penyerahan barang pembayarannya.
Apabila emas ditukar atau dijual dengan gandum atau perak dengan kurma boleh tidak sama ukuran /takarannya dengan boleh juga ditangguhkan penyerahan kompensasi dan pembayarannya. Karena dibolehkannya kelebihan salah satu barang tersebut oleh berbedaan jenis juga disebabkan perbedaan waktu.
ALASAN –ALASAN ULAMA YANG MELARANG JUAL BELI INI
Dalam mengharamkan jual beli ini (kredit dengan harga yang lebih besar) mereka beralasan bahwa tambahan tersebut sebagai padanan dari pertambahan waktu. Mengambil keuntungan tambahan dari pertambahan waktu termasuk dengan riba.
Mereka yang mengharamkan juga  beralasan dengan nash- nash umum yang mengharamkan riba bahwa jual beli ini juga tergolong riba. Namun keumuman nash ini dikonfrontasikan dengan nash- nash umum lain yang menghalalkan jual beli secara kontan dan tertunda pembayaran atau serah terima barangnya. Dan jual beli ini juga termasuk didalamnya[6].
Mereka juga beralasan dengan riwayat laranngan melakukan dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW
‘’barang siapa yang melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli maka ia harus mengambil keuntungan terndah, bila tidak berarti ia melakukan riba.’’   
Namun alasan ini dapat dibantah kalaupun misalnya hadist ini shohih maka dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli itu ditafsrkan sebagai jual beli inah, bukan jual beli dengan pembayaran yang tertunda.
Yang dapat diingat disini bahwa apabila pembeli terlambat membayar cicilan kredit, tidak dibolehkan bagi penjual untuk memberikan denda keuangan sebagai kompensasi keterlambatannya. Namun ia berhak untuk menuntut pembaya cicilan ketika terjadi ketidakmampuan membayar, bila itu termasuk akad kreditnya.
Bila seorang penjual barang berkata padaku. Barang ini hargannya Rp.10.000,00 jika kontan dan Rp.10.500,00 jika dibayar dengan cara kredit, maka engkau dapat memilih antara dua tawaran itu adapun jika engkau memilih membeli barang itu dengan cara kontan ternyata penjual meminta supaya dibayar besok lalu ia menemuimu besok hari dan mengatakan tambahan harganya dan jadikan harga kredit maka demikian itu tidak boleh karena riba[7]
PENDAPAT PARA MAJELIS ULAMA FIQIH TENTANG HUKUM JUAL BELI KREDIT.
Pembolehan jual beli secara kredit telah dipaparkan sebelumnya juga tidak dibolehkannya memberikan sanksi denda bila terjadi keterlambatannya adalah pendapat yang dipilih oleh Majelia Ulama Fiqih yang ikut dalam Organisasi Muktamar Islam. Dalam muktamarnya yang keenam di Jeddah pada bulan sya’ban tahun 1410 H ditetapkan sebagai berikut:
‘’Dibolehkan tambahan harga kredit dari harga kontan juga diperbolehkan menyebutkan harga kontan dengan harga kreditnya disertai dengan waktu- waktu penyicilannya. Jual beli dianggap tidak sah sebelum kedua transaktornya menegaskan mana yang mereka pilih,kontan atau kredit. Kalau jual beli itu dilakukan dengan keragu- raguan antara kontan dengan kredit, misalnya belum terjadi kesepakatan antara dua belah pihak, maka jual beli itu tidak sah sacara syar’i’’.
Menurut ajaran syari’at ketika terjadi proses jual beli ini tidak boleh menegaskan keuntungan kredit secara rinci secara terpisah dari harga kontan sehingga ada keterikatan dengan jangka waktu. Baik kedua pelaku jual beli itu menyepakati prosentase keuntungan turtentu, atau tergantung dengan jumlah pena,bahan waktu saja.
Kalau pembeli sakaligus orang yang berhutang terlambat membayar cicilan nya sesuai dengan waktu yang ditentukan , tidak boleh memaksa dia membayar tambahan lain dari jumlah hutangnya dengan persyaratan yang disebut dalam akadnya ataupun tidak. Karena itu adalah bentuk ribanyang diharamkan
Orang yang berhutang padahal mampu membayar tidak boleh dia memperlambatkan pembayaran hutangnya yang sudah tiba waktu cicilannya. Meski demikian juga tidak boleh memberi persyaratan adanya kompensasi atau sanksi denda bila terjadi keterlambatan pembayaran.
Menurut syariat dibolehkan seorang penjual meminta penyegeraan pembayaran cicilan dari waktu yang ditentukan, ketika orang yang berhutang pernah terlambat dalam membayar cicilan sebelumnya, selama orang yang berhutang itu rela dengan syarat tersebut ketika terjadi transaksi.
Penjual tidak boleh menyimpan barang milik pembeli setelah terjadi proses jual beli kredit ini. Namun ia bisa meminta syarat untuk sementara barang itu digadaikan ditempatnya sebagai jaminan hingga ia melunasi hutang cicilannya[8].


kesimpulan
Dibolehkan memberikan tambahan harga pada harga tertunda dari harga kontan, menurut pendapat yang paling valid dari dua pendapat para ulama yang ada.namun jual beli ini hjanya sah jika kedua belah pihak menegaskan mana diantara bentuk penjualan yang dipilih.
Yang dapat diingat disini bahwa apabila pembeli terlambat membayar cicilan kredit, tidak dibolehkan bagi penjual untuk memberikan denda keuangan sebagai kompensasi keterlambatannya. Namun ia berhak untuk menuntut pembayaran sisa cicilan ketika terjadi ketidakmampuan membayar, bila itu termasuk akad kreditnya.



Daftar pustaka
ahmanmedia.wordpress.com/fiqih/sistem-jual-beli-kredit/
Al –muslih Abdullah,shalah ash-shawi.fikih ekonomi keuangan islam .Jakarta:Darul Haq.
Athantawi,ali.1998.fatwa- fatwa popular ali athanthawi. Surakarta: Intermedia press


[1] ahmanmedia.wordpress.com/fiqih/sistem-jual-beli-kredit/
[2] Prof. Dr. Abdullah al- mushlih dan prof. Dr. shalah ash- shawi.fikih ekonomi keuangan islam.darul haq:Jakarta.2004 hlm.119

[3] Ibid.,
[4] Ibid.hal 120.
[5] Ibid hal. 121.
[6] Ibid hal.122
[7] Ali athanthowi.fatwa-fatwa popular ali thantawi.intermedia press:Surakarta.1998.hal
[8]Op.cit hal.124-125.

No comments:

Post a Comment