DEFINISI
KREDIT
Kredit adalah membeli barang
dengan harga yang berbeda antara pembayaran dalam bentuk tunai, tunai dengan
bila dengan tenggang waktu. Ini dikenal dengan istilah: bai` bit taqshid atau
bai` bits-tsaman `ajil.
Atau dalam
definisi lain. Kredit adalah menjual barang dengan tiada pembayaran tunai (jadi
pembayarannya ditangguhkan atau diangsur) atau membeli dengan pembayaran yang
ditagguhkan atau diangsur[1].
Dan dalam pengertian lain kredit yakni pinjaman uang dengan ppembayaran
pengembalian secara mengangsur penambahan saldo rekening. Sisa utang,
modal,pendapatan bagi penabung.
Kredit adalah “ Penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
“(Undang- undang Perbankan No. 10 / 1998)
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kredit
adalah suatu system pembayaran dalam jual beli yang pembayarannya dapat ditunda
(dapat dicicil/ diangsur) dalam jangka
waktu tertentu.
Jual beli dalam fikih islam
terkadang dilakukan dengan pembayaran kontan dari tangan ketangan dan terkadang
dengan pembayaran dan penyerahan barang yang tertunda, hutang dengan hutang.
Terkadang salah satu keduanya kontan dan yang lainnya tertunda. Kalau
pembayaran kontan dan penyerahan barang tertunda , maka disebut jual beli As-
Salm. Kalau penyerahan barangnya langsung dan pembayarannya tertunda, itu
disebut jual beli Nasi’ah. Pembayaran tertunda itu sendiri terkadang dibayar
dibelakang dengan sekalibayar sekaligus. Terkadang dibayar dengan cicilan,
yakni dibayar dengan jumlah tertentupada waktu- waktu tertentu itu disebut jual
beli taqsit atau kredit[2].
HUKUM JUAL BELI SECARA KREDIT
Para ulama
telah bersepakat tentang dibolehkannya jual beli dengan pembayaran tertunda
(Nasi’ah) karena banyak hadits- hadist yang tegas yang diriwayatkan tentang
jual beli tersebut. Contohnya yang diriwayatkan oleh al bukhori dan muslim
serta para perawi lainnya bahwa rasulullah SAW pernah membeli makanan dari
orang yahudi dengan pembayaran tertunda. Beliau m,emberikan baju besinya
sebagai jaminannya[3]
Dibolehkannya jual beli nasi’ah berarti juga
dibolehkannya jual beli secara kredit. Karena jual beli kredit tidak lain
adalah jual beli dengan pemnbayaran tertunda, hanya pembayarannya yang dicicil
selama beberapa kali dalam waktu- waktu tertentu. Tidak ada perbedaan dalam
hokum satu waktu atau pada beberapa waktu berbeda.
v hukum
jual beli kredit dengan tambahan harga karena penundaan
Telah dijelaskan bahwa asalnya jual beli
kredit telah disepakati kehalalannya. Akan tetapikadang terjadi hal yang
controversial dalam jual beli semacam ini yakni tambahan harga dengan penganti
tenggang waktu. Misalnya harga suatu barang jika dibeli dengan harga kontan
adalah Rp.100.000,00 lalu dibayar dengan cara kredit harganya menjadi
Rp.110.000,00 pendapat yang benar para ulma adalah dibolehkan nya bentuk jual
beli ini berdasarkan alasan keumuman dalil yang menetapkan dibolehkannya jual
beli semacam ini. Penjualan secara kredit hanya salah satu bentuk jual beli
yang disyari’atkan (jual beli nasi’ah)
Dalam
firman allah surah al baqarah ayat 282
‘’hai orang- orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya[4].Ayat
diatas secara umum juga meliputi penjualan barang dengan pembayaran tertunda,
yakni jual beli nasi’ah. Ayat ini juga meliputi hokum menjual barang yang
berada dalam kepemilikan namun dengan penyerahan tertunda yakni jual beli As-
Salm. Karena dalam jual beli As- Salm juga bisa dikurangi harga karena
penyerahan barang yang tertunda, maka dalam jual beli nasi’ah juga boleh
dilebihkan hargannganya karena pembayaran yang tertunda.
Dalam
hadist lain
‘’emas boleh dijual dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum,jewawut dengan jewawut, kurmaa dengan kurma, garam
dengan garam asal sama ukuran atau takarnnya, diserahterimakan dan dibayar
secara langsung kalau jenis yang satu dijual dengan jenis lain silahkan kalian
menjualnya sehendak kalian, namun harus tetap pembayaran kontan[5].
Dalam
hadist ini ada beberapa indikasi terhadap beberapa hal berikut:
Apabila emas dijual dengan emas, gandum
dijual dengan gandum disyaratkan harus ada kesamaan ukuran atau takaran dan
langsung diserahterimakan. Maka diharamkan adanya kelebihan beratatau takaran
salah satu barang yang ditukar, dan juga diharamkan pembayaran tertunda.
Namun kalau emas ditukar dengan perak,
atau kurma dengan jejawut hanya disyaratkan disyaratkan serah terima dan
pembayaran langsung saja, namun tidak disyaratkan harus sama ukuran maupun takarannya. Dibolehkan ketidaksamaan ukuran
dan takaran karena perbedaan jenis, namun tetap diharamkan penangguahn
penyerahan barang pembayarannya.
Apabila emas ditukar atau dijual dengan
gandum atau perak dengan kurma boleh tidak sama ukuran /takarannya dengan boleh
juga ditangguhkan penyerahan kompensasi dan pembayarannya. Karena dibolehkannya
kelebihan salah satu barang tersebut oleh berbedaan jenis juga disebabkan
perbedaan waktu.
ALASAN
–ALASAN ULAMA YANG MELARANG JUAL BELI INI
Dalam mengharamkan jual beli ini (kredit
dengan harga yang lebih besar) mereka beralasan bahwa tambahan tersebut sebagai
padanan dari pertambahan waktu. Mengambil keuntungan tambahan dari pertambahan
waktu termasuk dengan riba.
Mereka yang mengharamkan juga beralasan dengan nash- nash umum yang
mengharamkan riba bahwa jual beli ini juga tergolong riba. Namun keumuman nash
ini dikonfrontasikan dengan nash- nash umum lain yang menghalalkan jual beli
secara kontan dan tertunda pembayaran atau serah terima barangnya. Dan jual
beli ini juga termasuk didalamnya[6].
Mereka juga beralasan dengan riwayat
laranngan melakukan dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli, sebagaimana
sabda Nabi Muhammad SAW
‘’barang siapa yang
melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli maka ia harus mengambil
keuntungan terndah, bila tidak berarti ia melakukan riba.’’
Namun alasan ini dapat dibantah kalaupun
misalnya hadist ini shohih maka dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli
itu ditafsrkan sebagai jual beli inah, bukan jual beli dengan pembayaran yang
tertunda.
Yang dapat diingat disini bahwa apabila
pembeli terlambat membayar cicilan kredit, tidak dibolehkan bagi penjual untuk
memberikan denda keuangan sebagai kompensasi keterlambatannya. Namun ia berhak
untuk menuntut pembaya cicilan ketika terjadi ketidakmampuan membayar, bila itu
termasuk akad kreditnya.
Bila seorang penjual barang berkata
padaku. Barang ini hargannya Rp.10.000,00 jika kontan dan Rp.10.500,00 jika
dibayar dengan cara kredit, maka engkau dapat memilih antara dua tawaran itu
adapun jika engkau memilih membeli barang itu dengan cara kontan ternyata
penjual meminta supaya dibayar besok lalu ia menemuimu besok hari dan mengatakan
tambahan harganya dan jadikan harga kredit maka demikian itu tidak boleh karena
riba[7]
PENDAPAT
PARA MAJELIS ULAMA FIQIH TENTANG HUKUM JUAL BELI KREDIT.
Pembolehan jual beli secara kredit telah
dipaparkan sebelumnya juga tidak dibolehkannya memberikan sanksi denda bila
terjadi keterlambatannya adalah pendapat yang dipilih oleh Majelia Ulama Fiqih
yang ikut dalam Organisasi Muktamar Islam. Dalam muktamarnya yang keenam di
Jeddah pada bulan sya’ban tahun 1410 H ditetapkan sebagai berikut:
‘’Dibolehkan tambahan harga kredit dari
harga kontan juga diperbolehkan menyebutkan harga kontan dengan harga kreditnya
disertai dengan waktu- waktu penyicilannya. Jual beli dianggap tidak sah
sebelum kedua transaktornya menegaskan mana yang mereka pilih,kontan atau
kredit. Kalau jual beli itu dilakukan dengan keragu- raguan antara kontan
dengan kredit, misalnya belum terjadi kesepakatan antara dua belah pihak, maka
jual beli itu tidak sah sacara syar’i’’.
Menurut ajaran syari’at ketika terjadi
proses jual beli ini tidak boleh menegaskan keuntungan kredit secara rinci
secara terpisah dari harga kontan sehingga ada keterikatan dengan jangka waktu.
Baik kedua pelaku jual beli itu menyepakati prosentase keuntungan turtentu,
atau tergantung dengan jumlah pena,bahan waktu saja.
Kalau pembeli sakaligus orang yang
berhutang terlambat membayar cicilan nya sesuai dengan waktu yang ditentukan ,
tidak boleh memaksa dia membayar tambahan lain dari jumlah hutangnya dengan
persyaratan yang disebut dalam akadnya ataupun tidak. Karena itu adalah bentuk
ribanyang diharamkan
Orang yang berhutang padahal mampu
membayar tidak boleh dia memperlambatkan pembayaran hutangnya yang sudah tiba
waktu cicilannya. Meski demikian juga tidak boleh memberi persyaratan adanya
kompensasi atau sanksi denda bila terjadi keterlambatan pembayaran.
Menurut syariat dibolehkan seorang
penjual meminta penyegeraan pembayaran cicilan dari waktu yang ditentukan,
ketika orang yang berhutang pernah terlambat dalam membayar cicilan sebelumnya,
selama orang yang berhutang itu rela dengan syarat tersebut ketika terjadi
transaksi.
Penjual tidak boleh menyimpan barang
milik pembeli setelah terjadi proses jual beli kredit ini. Namun ia bisa
meminta syarat untuk sementara barang itu digadaikan ditempatnya sebagai
jaminan hingga ia melunasi hutang cicilannya[8].
kesimpulan
Dibolehkan memberikan tambahan harga
pada harga tertunda dari harga kontan, menurut pendapat yang paling valid dari
dua pendapat para ulama yang ada.namun jual beli ini hjanya sah jika kedua
belah pihak menegaskan mana diantara bentuk penjualan yang dipilih.
Yang dapat diingat disini bahwa apabila
pembeli terlambat membayar cicilan kredit, tidak dibolehkan bagi penjual untuk
memberikan denda keuangan sebagai kompensasi keterlambatannya. Namun ia berhak
untuk menuntut pembayaran sisa cicilan ketika terjadi ketidakmampuan membayar,
bila itu termasuk akad kreditnya.
Daftar
pustaka
ahmanmedia.wordpress.com/fiqih/sistem-jual-beli-kredit/
Al –muslih Abdullah,shalah ash-shawi.fikih ekonomi keuangan islam .Jakarta:Darul
Haq.
Athantawi,ali.1998.fatwa- fatwa popular ali athanthawi. Surakarta: Intermedia press
[1]
ahmanmedia.wordpress.com/fiqih/sistem-jual-beli-kredit/
[2]
Prof. Dr. Abdullah al- mushlih dan prof. Dr. shalah ash- shawi.fikih ekonomi keuangan islam.darul
haq:Jakarta.2004 hlm.119
[3]
Ibid.,
[4]
Ibid.hal 120.
[5]
Ibid hal. 121.
[6]
Ibid hal.122
[7]
Ali athanthowi.fatwa-fatwa popular ali thantawi.intermedia
press:Surakarta.1998.hal
[8]Op.cit
hal.124-125.
No comments:
Post a Comment