Categories

Wednesday 8 April 2015

SUBSTANSI PENDIDIKAN DASAR PADA ANAK MENURUT TEORI NATIVISME, EMPIRISME, DAN KONVERGENSI


            Sebagai landasan pendidikan Islam, maka al-Qur’an memiliki kedudukan sebagai qat’ī al-dalālah. Sedangkan hadis, ada yang qat’ī al-dalālah dan ada yang zannī al-dalālah. Karena demikian halnya, maka yang harus dijadikan landasan pertama dan utama dalam pendidikan Islam adalah al-Qur’an, di mana di dalamnya banyak ditemukan ayat yang berkenaan dengan teori belajar-mengajar, dan teori belajar-mengajar itu sendiri merupakan esensi dari pendidikan.
Di samping teori belajar mengajar, ada pula teori nativisme, empirisme, dan konvergensi. Teori-teori ini erat kaitannya dengan teori belajar mengajar yang bersumber dari aliran-aliran klasik dan merupakan benang merah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pendidikan masa lalu, kini, dan mungkin yang akan datang. Aliran-aliran itu mewakili berbagai variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dari yang paling pesimis sampai dengan yang paling optimis. Aliran yang paling pesimis memandang bahwa pendidikan kurang bermanfaat, bahkan mungkin merusak bakat yang telah dimiliki anak. Sedang sebaliknya, aliran yang sangat optimis memandang anak seakan-akan tanah liat yang dapat dibentuk sesuka hati. Banyak pemikiran yang berada di antara kedua kutub tersebut, yang dipandang sebagai variasi gagasan dan pemikiran dalam pendidikan.
Ketiga aliran pendidikan yang disebutkan di atas, juga memiliki keterkaitan erat dengan petunjuk al-Qur’an tentang masalah fitrah manusia. Karena itulah, maka dapat dirumuskan bahwa sangat penting untuk dibahas berbagai petunjuk al-Qur’an tentang teori belajar mengajar dan kaitannya dengan teori nativisme, teori empirisme, dan teori konvergensi.
Terdapat perbedaan pandangan tentang teori belajar dalam berbagai aliran-aliran pendidikan. Perbedaan-perbedaan itu, berpangkal pada berbedanya pandangan tentang perkembangan manusia yang banyak ditemukan pembahasannya dalam psikologi pendidikan.
Teori-teori belajar dan mengajar yang muara akhirnya adalah perkembangan intelektual, pada dasarnya dapat dilihat dari berbagai teori yang terdapat dalam tiga aliran pendidikan, yakni aliran nativisme, aliran empirisme, dan aliran konvergensi.
1.      Teori Nativisme
Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau ayahnya pintar, maka kemungkinan besar anaknya juga pintar.
Para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak  didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri dalam proses belajarnya.
Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa jika anak memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya apabila mempunyai pembawaan baik, maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan pembawaan baik ini tidak dapat dirubah dari kekuatan luar.
Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-1860). Tokoh lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya inti privasi atau jati diri manusia. Meskipun dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.
2.      Teori Empirisme
Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme (empiri = pengalaman), tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa lahir manusia. Dengan kata lain bahwa manusia itu lahir dalam keadaan suci, tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa hasil belajar peserta didik besar pengaruhnya pada faktor lingkungan.
Dalam teori belajar mengajar, maka aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan peserta didik. Pengalaman belajar yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.
Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Dengan demikian, dipahami bahwa aliran empirisme ini, seorang pendidik memegang peranan penting terhadap keberhasilan peserta didiknya.
Menurut Redja Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini berpandangan behavioral, karena menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata-mata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka.
3.      Teori Konvergensi
Aliran konvergensi berasal dari kata konvergen, artinya bersifat menuju satu titik pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu itu baik dasar (bakat, keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu, yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangannya, maka kemungkinan itu lalu menjadi kenyataan. Akan tetapi bakat saka tanpa pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan tersebut, tidak cukup, misalnya tiap anak manusia yang normal mempunyai bakal untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini tidak akan menjadi menjadi kenyataan, jika anak tersebut tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia.
Perintis aliran konvergensi adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia  disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Bakat yang dibawa anak sejak kelahirannya tidak berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Jadi seorang anak yang memiliki otak yang cerdas, namun tidak didukung oleh pendidik yang mengarahkannya, maka kecerdasakan anak tersebut tidak berkembang. Ini berarti bahwa dalam proses belajar peserta didik tetap memerlukan bantuan seorang pendidik untuk mendapatkan keberhasilan dalam pembelajaran.
Ketika aliran-aliran pendidikan, yakni nativisme, empirisme dan konvergensi, dikaitkan dengan teori belajar mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah disebutkan  (nativisme-empirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan yang dimaksudkan adalah sifatnya yang ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah. Sedangkan aliran yang terakhir (konvergensi) pada umumunya diterima seara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-kembang seorang peserta didik dalam kegiatan belajarnya. Meskipun demikian, terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh-kembang itu.
Keberhasilan teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan, diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan aliran lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru lingkungan yang mempengaruhi peserta didik tersebut. Selanjutnya menurut aliran konvergensi bahwa antara lingkungan dan bakat pada peserta didik yang terbawa sejak lahir saling memengaruhi.
Al-Qur’an sebagai acuan dasar pendidikan Islam dalam menerangkan teori belajar mengajar telah memberikan konsep terhadap pemikiran yang terdapat aliran nativisme, empirisme dan konvergensi. Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan bahwa pembawaan seorang anak (peserta didik) sejah lahirnya disebut fitrah, dan fitrah ini adalah dasar keagamaan yang dimiliki oleh setiap orang. Fitrah menurut al-Qur’an di samping dapat menerima pengaruh dari dalam (keturunan) juga dapat menerima pengaruh dari luar (lingkungan). Untuk mengembangkan fitrah ini, maka pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat penting peranannya.
SUBSTANSI PENDIDIKAN DASAR PADA ANAK
Kapan Pendidikan Anak Dimulai? Di kalangan para Pedagog* berbeda  pendapat dalam masalah, apakah benar anak itu dapat dididik? untuk menjawab persoalan ini, maka akan muncul 3 aliran yang berbeda.
PERTAMA Aliran Nativisme
Aliran ini berpendapat bahwa anak sejak lahir telah mempunyai pembawaan yang kuat, sehingga tidak dapat menerima pengaruh dari luar. Baik buruknya anak itu telah ditentukan oleh pembawaan, bukan tergantung kepada pengaruh/pendidikan dari luar. Oleh karena itu, pendidikan tidak diperlukan lagi. Sebab pada hakekatnya yang memegang peranan adalah pembawaan.
KEDUA Aliran Empirisme
Aliran ini biasa disebut dengan teori TABULARASA. Ia mengatakan bahwa pendiddikan mempunyai pengaruh tidak terbatas. Anak didik diibaratkan dengan sehelai kertas putih bersih yang dapat ditulis apa saja, sesuai dengan kehendak si penulisnya. Baik buruknya seorang anak sangat tergantung kepada pendidikan yang diterimanya.
KETIGA Aliran Konvergensi
Aliran ini merupakan perpaduan dari dua aliran di atas. Ia mengatakan bahwa per-kembangan anak ditinjau dari berbagai aspeknya sangat tergantung pada dasar dan ajar atau tergantung pada Pembawaan dan pendidikan. Keduanya mempunyai peranan yang sama pentingnya dalam perkembangan pribadi anak. Hal ini didasarkan pada Al Qur’an Surat Ar-Rum ayat 30 dan Hadits Nabi saw:
Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Sementara itu  Hadits Nabi saw : “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah mem-bawa fitrah (kencenderungan untuk percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama yahudi, nasrani ataupun majusi.”
Dari ayat dan hadits di atas jelaslah bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama dan kemudian tergantung pada pendidikan selanjutnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam tersebut sesuai dengan aliran Konvergensi yang mengakui adanya pembawaan keturunan dan perlunya pendidikan. Hal ini diperkuat lagi dengan Al Qur’an surat Al Baqarah 223 dan Hadits Nabi saw :
“Istri-istrimu adalah bagaikan ladang bagi kamu.”  Dan hadits Nabi saw “Pilihlah tempat menanam benihmu karena sesungguhnya keturunan bisa menetes ke-pada Anak.” (HR. Abu Dawud).
MATERI POKOK PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK
(Dalam Tinjauan Islam) Ada tiga materi pokok dalam pendidikan agama yang harus diperhatikan oleh setiap pendidik,   baik   dalam   proses   pendidikan informal (keluarga) formal (sekolah) maupun nonformal (masyarakat). Tiga materi pokok tersebut meliputi masalah keimanan (Aqidah) masalah keislaman (syariah) dan masalah ikhsan (akhlaq). Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan sebagai berikut :
 A.  Pendidikan   Keimanan   (Aqidah)
Yang dimaksud dengan pendidikan keimanan (Aqidah) adalah menambahkan kepercayaan pada anak dan memberikan pemahaman pokok-pokok keimanan secara lebih terperinci sebagaimana tertulis dalam hadits Nabi saw. “Iman adalah percaya akan adanya Allah swt, para malaikat, kitab-kitabNya, para Rasul, hari akhir dan percaya pada qadar baik dan buruknya.” (HR. Bukhori dan Muslim). 
Disamping mengajarkan tentang rukun iman sebagaimana termaktub di atas juga perlu diajarkan tentang masalah keimanan lainnya yang bersumber dari Al Qur’an dan hadits. Seperti beriman akan adanya pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir dalam kubur, azab kubur, hari kebangkitan, hisab, surga, neraka dan hal-hal ghaib lainnya. Hal ini diharapkan memberikan dampak positif terhadap perilaku anak. Berkaitan dengan pendidikan keimanan, Rasulullah saw memberikan wasiat dan taujihat kepada kita semua melalui haditsnya: “Bukalah (telinga) anak-anakmu dengan ucapan yang pertama berupa “Laa Ilaaha Illallah” (HR. Imam Hakim dari Ibnu Abbas). Atau dengan mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kirinya. Adzan dan Iqamah ini akan berpengaruh dalam pendidikan keimanan dan tauhid pada Anak.
 B.  Pendidikan Keislaman (Syariah)
Yang dimaksud dengan pendidikan keislaman  (syariah)  adalah  menanamkan pelajaran tentang rukun Islam yang lima seperti syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji kepada anak dan memberikan pemahaman secara benar dan  terperinci. Diharapkan  melalui pendidikan ini, anak-anak memiliki hubungan dan keterkaitan amal lahir dalam rangka mentaati semua peraturan dan hukum Allah swt, guna mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan mengatur pergaulan hidup dan kehidupan antar sesama manusia.
Ada beberapa contoh hadits Nabi saw berkaitan dengan pengenalan hukum halal dan haram serta perintah ibadah ketika anak-anak menginjak dewasa. Hal ini semua berkaitan dengan masalah keislaman atau syariah. Rasulullah saw bersabda : “Kerjakanlah segala ketaatan kepada Allah dan jauhilah semua kemaksiatan. Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangaNya, karena yang demikian itu merupakan perlindungan dari api neraka bagi mereka dan bagi kamu sekalian.”  (HR. Ibnu Jarir dan Ibnu Al-Mundzir dari Ibnu Abbas).
Dalam riwayat lain : “Perintahlah shalat anak-anakmu ketika menginjak umur tujuh tahun dan  pukullah mereka (bila tidak mau shalat) ketika menginjak umur sepuluh tahun dan pisahkanlah mereka dari tempat tidurnya.” (HR. Imam Hakim dan Abu Dawud dari Amr dan Al-Ash).
Kedua hadits tersebut di atas dimaksudkan agar anak terbiasa dan mengerti masalah halal dan haram serta memahami hukum-hukum dalam beribadah.
C.  Pendidikan Ikhsan (Akhlaq)
Ikhsan atau Akhlaq merupakan amalan yang bersifat pelengkap dan penyempurna bagi kedua amal di atas. Ia mengajarkan tata cara pergaulan hidup manusia. Ia juga meru-pakan buah dari Iman dan Islam seseorang. Oleh sebab itu, setiap orang yang baik Iman dan Islamnya pasti orang tersebut akan memiliki Akhlaq yang baik.
Banyak sekali contoh dalam Al Qur’an dan hadits Nabi saw sekitar masalah pendidikan akhlaq. Diantaranya  :  “ Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman 17-19).
Dalam hadits Nabi saw : “Didiklah anak-anakmu dengan tiga hal : mencintai Nabimu, mencintai keluarganya dan mencintai membaca Al Qur’an karena para pembaca dan pembawa Qur’an akan berada dalam naungan arsy Allah pada hari tiada perlindungan kecuali perlindunganNya, bersama para Nabi dan manusia pilihanNya. (HR. At-Tabrani dari Ali r.a.)
Demikianlah tiga inti ajaran pokok dalam pendidikan Islam yang harus ditanamkan kepada anak didik berupa iman, islam dan akhlaq. Dan kita sebagai orang tua atau pemimpin dalam rumah tangga kelak akan ditanya sesuai dengan hadits Nabi saw : “Se-sungguhnya Allah akan meminta pertanggung jawaban kepada setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya, apakah dia melaksa-nakannya atau mengabaikannya”. (HR. Ibnu Hibban).

No comments:

Post a Comment