Sebagai landasan pendidikan Islam, maka al-Qur’an memiliki kedudukan sebagai qat’ī al-dalālah. Sedangkan hadis, ada yang qat’ī al-dalālah dan ada yang zannī al-dalālah. Karena demikian halnya, maka yang harus dijadikan landasan pertama dan utama dalam pendidikan Islam adalah al-Qur’an, di mana di dalamnya banyak ditemukan ayat yang berkenaan dengan teori belajar-mengajar, dan teori belajar-mengajar itu sendiri merupakan esensi dari pendidikan.
Di
samping teori belajar mengajar, ada pula teori nativisme, empirisme, dan
konvergensi. Teori-teori ini erat kaitannya dengan teori belajar mengajar yang
bersumber dari aliran-aliran klasik dan merupakan benang merah yang
menghubungkan pemikiran-pemikiran pendidikan masa lalu, kini, dan mungkin yang
akan datang. Aliran-aliran itu mewakili berbagai variasi pendapat tentang
pendidikan, mulai dari yang paling pesimis sampai dengan yang paling optimis.
Aliran yang paling pesimis memandang bahwa pendidikan kurang bermanfaat, bahkan
mungkin merusak bakat yang telah dimiliki anak. Sedang sebaliknya, aliran yang
sangat optimis memandang anak seakan-akan tanah liat yang dapat dibentuk sesuka
hati. Banyak pemikiran yang berada di antara kedua kutub tersebut, yang
dipandang sebagai variasi gagasan dan pemikiran dalam pendidikan.
Ketiga
aliran pendidikan yang disebutkan di atas, juga memiliki keterkaitan erat
dengan petunjuk al-Qur’an tentang masalah fitrah manusia. Karena itulah, maka
dapat dirumuskan bahwa sangat penting untuk dibahas berbagai petunjuk al-Qur’an
tentang teori belajar mengajar dan kaitannya dengan teori nativisme, teori
empirisme, dan teori konvergensi.
Terdapat
perbedaan pandangan tentang teori belajar dalam berbagai aliran-aliran
pendidikan. Perbedaan-perbedaan itu, berpangkal pada berbedanya pandangan
tentang perkembangan manusia yang banyak ditemukan pembahasannya dalam
psikologi pendidikan.
Teori-teori
belajar dan mengajar yang muara akhirnya adalah perkembangan intelektual, pada
dasarnya dapat dilihat dari berbagai teori yang terdapat dalam tiga aliran
pendidikan, yakni aliran nativisme, aliran empirisme, dan aliran konvergensi.
1. Teori Nativisme
Aliran
nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya
memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan
yang disebut potensi (dasar). Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian
tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor
lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap
perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa aliran
nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang
dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan dan
ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau ayahnya pintar, maka
kemungkinan besar anaknya juga pintar.
Para
penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan
pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan
ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan
ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri.
Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”.
Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak
akan berguna untuk perkembangan anak sendiri dalam proses belajarnya.
Bagi
nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan
berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan
bahwa jika anak memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat,
sebaliknya apabila mempunyai pembawaan baik, maka dia menjadi orang yang baik.
Pembawaan buruk dan pembawaan baik ini tidak dapat dirubah dari kekuatan luar.
Tokoh
utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-1860).
Tokoh lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari
Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya inti privasi atau jati
diri manusia. Meskipun dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip
orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada
orang tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang
menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan
dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.
2. Teori Empirisme
Aliran
empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme (empiri =
pengalaman), tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa lahir
manusia. Dengan kata lain bahwa manusia itu lahir dalam keadaan suci, tidak
membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa hasil belajar
peserta didik besar pengaruhnya pada faktor lingkungan.
Dalam
teori belajar mengajar, maka aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition
yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan peserta didik.
Pengalaman belajar yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari
dunia sekitarnya berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam
bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.
Tokoh
perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama John Locke
(1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia
bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari
lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Dengan
demikian, dipahami bahwa aliran empirisme ini, seorang pendidik memegang
peranan penting terhadap keberhasilan peserta didiknya.
Menurut
Redja Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini berpandangan behavioral, karena
menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya,
dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar
semata-mata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta
didik menurut aliran empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan
ini disebabkan oleh adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka.
3. Teori Konvergensi
Aliran
konvergensi berasal dari kata konvergen, artinya bersifat menuju satu titik
pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu itu baik dasar
(bakat, keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting.
Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu,
yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan untuk
perkembangannya, maka kemungkinan itu lalu menjadi kenyataan. Akan tetapi bakat
saka tanpa pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan
tersebut, tidak cukup, misalnya tiap anak manusia yang normal mempunyai bakal
untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini
tidak akan menjadi menjadi kenyataan, jika anak tersebut tidak hidup dalam
lingkungan masyarakat manusia.
Perintis
aliran konvergensi adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan
bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia
disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Bakat yang dibawa anak sejak
kelahirannya tidak berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang
sesuai untuk perkembangan bakat itu. Jadi seorang anak yang memiliki otak yang
cerdas, namun tidak didukung oleh pendidik yang mengarahkannya, maka
kecerdasakan anak tersebut tidak berkembang. Ini berarti bahwa dalam proses
belajar peserta didik tetap memerlukan bantuan seorang pendidik untuk
mendapatkan keberhasilan dalam pembelajaran.
Ketika
aliran-aliran pendidikan, yakni nativisme, empirisme dan konvergensi, dikaitkan
dengan teori belajar mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah
disebutkan (nativisme-empirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan
yang dimaksudkan adalah sifatnya yang ekslusif dengan cirinya ekstrim berat
sebelah. Sedangkan aliran yang terakhir (konvergensi) pada umumunya diterima
seara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-kembang seorang
peserta didik dalam kegiatan belajarnya. Meskipun demikian, terdapat variasi pendapat
tentang faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh-kembang
itu.
Keberhasilan
teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan,
diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan aliran
lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi
oleh lingkungan, sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru lingkungan
yang mempengaruhi peserta didik tersebut. Selanjutnya menurut aliran
konvergensi bahwa antara lingkungan dan bakat pada peserta didik yang terbawa
sejak lahir saling memengaruhi.
Al-Qur’an
sebagai acuan dasar pendidikan Islam dalam menerangkan teori belajar mengajar
telah memberikan konsep terhadap pemikiran yang terdapat aliran nativisme,
empirisme dan konvergensi. Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan bahwa pembawaan
seorang anak (peserta didik) sejah lahirnya disebut fitrah, dan fitrah ini
adalah dasar keagamaan yang dimiliki oleh setiap orang. Fitrah menurut
al-Qur’an di samping dapat menerima pengaruh dari dalam (keturunan) juga dapat
menerima pengaruh dari luar (lingkungan). Untuk mengembangkan fitrah ini, maka
pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat penting peranannya.
SUBSTANSI PENDIDIKAN
DASAR PADA ANAK
Kapan Pendidikan Anak Dimulai? Di
kalangan para Pedagog* berbeda pendapat dalam masalah, apakah benar anak
itu dapat dididik? untuk menjawab persoalan ini, maka akan muncul 3 aliran yang
berbeda.
PERTAMA Aliran Nativisme
Aliran ini berpendapat bahwa
anak sejak lahir telah mempunyai pembawaan yang kuat, sehingga tidak dapat
menerima pengaruh dari luar. Baik buruknya anak itu telah ditentukan oleh
pembawaan, bukan tergantung kepada pengaruh/pendidikan dari luar. Oleh
karena itu, pendidikan tidak diperlukan lagi. Sebab pada hakekatnya yang
memegang peranan adalah pembawaan.
KEDUA Aliran Empirisme
Aliran ini biasa disebut
dengan teori TABULARASA. Ia mengatakan bahwa pendiddikan mempunyai pengaruh
tidak terbatas. Anak didik diibaratkan dengan sehelai kertas putih bersih yang
dapat ditulis apa saja, sesuai dengan kehendak si penulisnya. Baik buruknya
seorang anak sangat tergantung kepada pendidikan yang diterimanya.
KETIGA Aliran Konvergensi
Aliran ini merupakan perpaduan
dari dua aliran di atas. Ia mengatakan bahwa per-kembangan anak ditinjau dari
berbagai aspeknya sangat tergantung pada dasar dan ajar atau tergantung
pada Pembawaan dan pendidikan. Keduanya
mempunyai peranan yang sama pentingnya dalam perkembangan pribadi anak.
Hal ini didasarkan pada Al Qur’an Surat Ar-Rum ayat 30 dan Hadits Nabi
saw:
“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Sementara itu
Hadits Nabi saw : “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah mem-bawa
fitrah (kencenderungan untuk percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah
yang menjadikan anak tersebut beragama yahudi, nasrani ataupun majusi.”
Dari ayat dan hadits di atas
jelaslah bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama dan
kemudian tergantung pada pendidikan selanjutnya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ajaran Islam tersebut sesuai dengan aliran Konvergensi yang
mengakui adanya pembawaan keturunan dan perlunya pendidikan. Hal ini
diperkuat lagi dengan Al Qur’an surat Al Baqarah 223 dan Hadits Nabi saw :
“Istri-istrimu adalah
bagaikan ladang bagi kamu.” Dan hadits Nabi saw “Pilihlah
tempat menanam benihmu karena sesungguhnya keturunan bisa menetes ke-pada
Anak.” (HR. Abu Dawud).
MATERI POKOK PENDIDIKAN AGAMA PADA
ANAK
(Dalam Tinjauan
Islam) Ada tiga materi pokok dalam pendidikan agama yang harus
diperhatikan oleh setiap pendidik, baik
dalam proses pendidikan informal (keluarga) formal
(sekolah) maupun nonformal (masyarakat). Tiga materi pokok tersebut meliputi
masalah keimanan (Aqidah) masalah keislaman (syariah) dan masalah ikhsan
(akhlaq). Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan sebagai berikut :
A. Pendidikan
Keimanan (Aqidah)
Yang dimaksud dengan
pendidikan keimanan (Aqidah) adalah menambahkan kepercayaan pada anak dan
memberikan pemahaman pokok-pokok keimanan secara lebih terperinci sebagaimana
tertulis dalam hadits Nabi saw. “Iman adalah percaya akan adanya Allah swt,
para malaikat, kitab-kitabNya, para Rasul, hari akhir dan percaya pada qadar
baik dan buruknya.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Disamping mengajarkan tentang
rukun iman sebagaimana termaktub di atas juga perlu diajarkan tentang
masalah keimanan lainnya yang bersumber dari Al Qur’an dan hadits. Seperti
beriman akan adanya pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir dalam kubur, azab
kubur, hari kebangkitan, hisab, surga, neraka dan hal-hal ghaib lainnya. Hal
ini diharapkan memberikan dampak positif terhadap perilaku anak. Berkaitan
dengan pendidikan keimanan, Rasulullah saw memberikan wasiat dan taujihat
kepada kita semua melalui haditsnya: “Bukalah (telinga) anak-anakmu dengan
ucapan yang pertama berupa “Laa Ilaaha Illallah” (HR. Imam Hakim dari Ibnu
Abbas). Atau dengan mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamah di
telinga kirinya. Adzan dan Iqamah ini akan berpengaruh dalam pendidikan
keimanan dan tauhid pada Anak.
B. Pendidikan Keislaman
(Syariah)
Yang dimaksud dengan
pendidikan keislaman (syariah) adalah menanamkan pelajaran
tentang rukun Islam yang lima seperti syahadat, shalat, puasa, zakat dan
haji kepada anak dan memberikan pemahaman secara benar dan
terperinci. Diharapkan melalui pendidikan ini, anak-anak memiliki
hubungan dan keterkaitan amal lahir dalam rangka mentaati semua peraturan dan
hukum Allah swt, guna mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan
mengatur pergaulan hidup dan kehidupan antar sesama manusia.
Ada beberapa contoh hadits
Nabi saw berkaitan dengan pengenalan hukum halal dan haram serta perintah
ibadah ketika anak-anak menginjak dewasa. Hal ini semua berkaitan dengan
masalah keislaman atau syariah. Rasulullah saw bersabda : “Kerjakanlah segala
ketaatan kepada Allah dan jauhilah semua kemaksiatan. Perintahlah anak-anakmu
untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangaNya, karena yang demikian
itu merupakan perlindungan dari api neraka bagi mereka dan bagi kamu sekalian.”
(HR. Ibnu Jarir dan Ibnu Al-Mundzir dari Ibnu Abbas).
Dalam riwayat lain : “Perintahlah
shalat anak-anakmu ketika menginjak umur tujuh tahun dan
pukullah mereka (bila tidak mau shalat) ketika menginjak umur sepuluh
tahun dan pisahkanlah mereka dari tempat tidurnya.” (HR. Imam Hakim
dan Abu Dawud dari Amr dan Al-Ash).
Kedua hadits tersebut di atas
dimaksudkan agar anak terbiasa dan mengerti masalah halal dan haram serta
memahami hukum-hukum dalam beribadah.
C. Pendidikan Ikhsan (Akhlaq)
Ikhsan atau Akhlaq merupakan
amalan yang bersifat pelengkap dan penyempurna bagi kedua amal di atas. Ia
mengajarkan tata cara pergaulan hidup manusia. Ia juga meru-pakan buah dari
Iman dan Islam seseorang. Oleh sebab itu, setiap orang yang baik Iman dan
Islamnya pasti orang tersebut akan memiliki Akhlaq yang baik.
Banyak sekali contoh dalam Al
Qur’an dan hadits Nabi saw sekitar masalah pendidikan akhlaq. Diantaranya
: “ Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan
yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah
terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal
yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari
manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman 17-19).
Dalam hadits Nabi saw :
“Didiklah anak-anakmu dengan tiga hal : mencintai Nabimu, mencintai keluarganya
dan mencintai membaca Al Qur’an karena para pembaca dan pembawa Qur’an akan
berada dalam naungan arsy Allah pada hari tiada perlindungan kecuali
perlindunganNya, bersama para Nabi dan manusia pilihanNya. (HR. At-Tabrani dari
Ali r.a.)
Demikianlah tiga inti ajaran
pokok dalam pendidikan Islam yang harus ditanamkan kepada anak didik berupa
iman, islam dan akhlaq. Dan kita sebagai orang tua atau pemimpin dalam rumah
tangga kelak akan ditanya sesuai dengan hadits Nabi saw : “Se-sungguhnya
Allah akan meminta pertanggung jawaban kepada setiap pemimpin tentang apa
yang dipimpinnya, apakah dia melaksa-nakannya atau mengabaikannya”. (HR.
Ibnu Hibban).