A. Pengertian Positivisme
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste
Comte (1798 – 1857) yang tertuang dalam karya utama Auguste Comte adalah
Cours de Philosophic Positive, yaitu Kursus tentang Filsafat Positif (1830
– 1842) yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karyanya yang pantas
disebutkan di sini ialah Discour L'esprit Positive (1844) yang artinya
Pembicaraan tentang Jiwa Positif. Dalam karya inilah, Comte menguraikan secara
singkat pendapat-pendapat positivis, hukum tiga stadia, klasifikasi ilmu-ilmu
pengetahuan dan bagan mengenai tatanan dan kemajuan. (Juhaya S. Pradja, 2000
: 89),
Positivisme berasal dari kata "positif". Kata
"positif" disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang
berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak oleh
melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh
istimewa dalam bidang pengetahuan. Kemudian, filsafat pun harus meneladani
contoh itu. Oleh karena itu pulalah, positivisme menolak cabang filsafat
metafisika. Menanyakan "hakikat" benda-benda atau "penyebab yang
sebenarnya", bagi positivisme, tidaklah mempunyai arti apa-apa. Ilmu
pengetahuan, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan
yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah mengoordinasikan
ilmu-ilmu pengetahuan yang beragam coraknya. Tentu saja, maksud positivisme
berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun
mengutamakan pengalaman. Hanya saja, berbeda dengan empirisme Inggris yang
menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan.
Positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah
tersebut. Ia hanyalah mengandalkan fakta-fakta belaka. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 89)
B.
Perspektif Positivistik tentang Masyarakat
Meskipun Comte yang memberikan istilah "positivisme", gagasan
yang terkandung dalam kata itu bukan berasal dari dia. Kaum positivis percaya bahwa
masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode-metode penelitian
empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya sudah tersebar luas
lingkungan intelektual pada masa Comte. Akan tetapi, sementara kebanyakan
kelompok positivis berasal dari kalangan orang-orang yang progresif, yang
bertekad mencampakkan tradisi-tradisi irasional dan memperbaharui masyarakat
menurut hukum alam sehingga menjadi lebih rasional, Comte percaya bahwa
penemuan hukumhukum alam itu akan membukakan batas-batas yang pasti yang (inherent) dalam kenyataan sosial, dan jika melampaui batas-batas itu, usaha
pembaharuan akan merusakkan dan menghasilkan yang sebaliknya. Skeptisisme Comte
berhubungan dengan usaha-usaha pembaharuan besarbesaran serta penghargaan
terhadap tonggak-tonggak keteraturan sosial tradisional menyebabkan dia
dimasukkan ke dalam kategori orang konservatif.
Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang
kenyataannya lebih daripada sekadar jumlah bagian-bagian yang saling
bergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empiris
,harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari
alam seperti halnya gejala fisik.
Comte melihat perkembangan
ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah sebagai puncak suatu proses
kemajuan intelektual yang logis yang telah dilewati oleh ilmu-ilmu lainnya. Kemajuan ini
mencakup perkembangan dari bentuk-bentuk pemikiran teologis purba, penjelasan
metafisik, dan akhirnya sampai terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang posifif.
Bidang sosiologi (atau fisika sosial) adalah paling akhir melewati tahap-tahap,
ini, karena pokok permasalahannya lebih kompleks daripada yang terdapat dalam ilmu fisika
dan biologi.
C.
Hukum Tiga Tahap
Hukum
tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat
manusia dan masa primitif sampai peradaban Perancis abad kesembilan belas yang
sangat maju. Hukum ini, yang mungkin paling terkenal dan gagasan-gagasari
teoretis pokok Comte, tidak lagi diterima sebagai suatu penjelasan mengenai
perubahan sejarah secara memadai. Juga terlalu luas dan umum sehiquga tidak
dapat benar-benar tunduk pada pengujian empiris secara teliti, yang menuntut
Comte harus ada untuk membentuk hukum-hukum sosiologi.
Singkatnya, hukum itu menyatakan baj'hwa masyarakat (atau umat manusia)
berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara
berpikir yang dominan, yaitu teologis, metafisik, dan positif.
- Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisis yang lebih terperinci, Comte membaginya ke dalam periode fetisisme, politeisme, dan monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Akhirnya, fetisisme ini diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal supernatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam, terus mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak idea itu diganti dengan kepercayaan akan satu yang tertinggi. Katolisme pada abad pertengahan memperlihatkan puncak tahap monoteisme.
2. Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi
antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan
akan hukumhukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Protestantisme dan
Deisme memperlihatkan
penyesuaian yang berturutturut dari semangat teologis kepada munculnya
semangat metafisik yang
mantap. Satu manifestasi yang serupa dan semangat ini dinyatakan dalam Declaration of Independence: "Kita menganggap kebenaran ini jelas
dari dirinya sendiri ...... Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi
mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia,
sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik.
3. Tahap positif ditandai
oleh kepercayaan akan .data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Akan
tetapi, pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat
positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru
atas dasar pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting,
seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris.
Analisis rasional mengenai data empiris akhirnya memungkinkan manusia untuk memperoleh
hukum-hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris lebih
daripada kemutlakan metafisik. (Doyle Paul Jhonson, Robert MZ. Lawang, 86)
D.
Prinsip-Prinsip Keteraturan
Sosial
Sejalan
dengan perspektif organiknya, Comte sangat menerima saling ketergantungan yang
harmonis antara "bagian-bagian" masyarakat, clan sumbangannya
terhadap bertahannya stabilitas sosial. Meskipun keteraturan sosial dapat
terancam oleh anarki sosial, moral, dan intelektual, selalu akan diperkuat
kembali. Sesungguhnya periode sejarah yang lama sudah ditandai oleh stabilitas yang berarti,
dan sebagian tugas Comte, yang dia berikan sendiri adalah menemukan sumber-sumber stabilitas ini.
Analisis Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha
untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode
positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita
yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan
positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek.
E.
Tiga Zaman Perkembangan
Pemikiran Manusia
Titik tolak
ajaran Comte yang terkenal adalah tanggapannya atas perkembangan pengetahuan
manusia, baik perseorangan maupun umat manusia secara keseluruhan, melalui tiga
zaman atau tiga stadia. Menurutnya, perkembangan menurul tiga zaman ini
merupakan hukum yang tetap. Ketiga zaman itu ialah zaman teologis, zaman metafisis, dan zaman
ilmiah atau positif.
- Zaman Teologis
Pada zaman teologis, manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat
kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Zaman teologis dapat dibagi lagi menjadi tiga periode berikut :
a. Animisme. Tahap animisme merupakan tahapan paling primitif karena benda-benda dianggap mempunyai jiwa
b. Politeisme. Tahap politeisme merupakan perkembangan dari tahap
pertama, pada tahap ini, manusia percaya pada dewa yang masingmasing menguasai
suatu lapangan tertentu; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar, dan
sebagainya.
c. Monoteisme. Tahap monoteisme ini lebih tinggi daripada dua
tahap sebelumnya, karena pada tahap ini, manusia hanya memandang satu Tuhan sebagai
penguasa.
- Zaman Metafisis
Pada
zaman ini, kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep dan prinsip yang
abstrak, seperti "kodrat" dan "penyedap". Metafisika pada zaman ini dijunjung
tinggi.
- Zaman Positif
Zaman
ini dianggap Comte sebagai zaman tertinggi dari kehidupan manusia. Alasannya
ialah pada zaman ini tidak lagi ada usaha manusia untuk mencari
penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Manusia kini telah
membatasi diri dalam penyelidikannya pada faktafakta yang disajikan kepadanya.,
Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusla berusaha
menetapkan relasi atau hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara
fakta-fakta. Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti
yang sebenarnya.
Hukum
tiga zaman tidak saja berlaku pada manusia sebagai allak manusia berada pada
zaman teologis, pada masa remaja, ia masuk-zaman metafisis dan pada masa
dewasa, ia memasuki zaman positif. Demikian pula, ilmu pengetahuan berkembang
mengikutiiiga zaman tersebut yang akhirnya mencapai puncak kematangannya pada
zaman positif. (Juhaya S.
Pradja, 2000 : 90 dan lihat K. Bertens, 73 - 74)
F. Susunan Ilmu
Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan tidak semuanya mencapai kematangan yang sama pada saat yang
bersamaan. Oleh karena itu, memungkinkan untuk melukiskan perkembangan ilmu
pengetahuan berdasarkan rumitnya bahan yang dipelajari di dalamnya. Urutan perkembangan ilmu pengetahuan tersusun
sedemikian rupa sehingga yang satu selalu mengandalkan ilmu pengetahuan yang
lain mendahuluinya. Dengan demikian, Comte membedakan enam ilmu pengetahuan
pokok, yaitu: ilmu pasti, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan puncaknya pada
sosiologi. Semua ilmu pengetahuan, menurut Comte, dapat dijabarkan kepada salah
satu dari enam ilmu tersebut.
Ilmu pasti merupakan
ilmu yang paling fundamental dan menjadi pembantu bagi semua ilmu lainnya.
Selain relasi-relasi matematis, astronomi membicarakan juga tentang gerak.
Dalam fisika ditambah lagi dengan penelitian tentang materi. Selanjutnya, kimia
membahas proses perubahan yang berlangsung dalam materi yang telah dibicarakan
dan dikupas dalam fisika. Perkembangan selanjutnya menjelma dalam biologi Yang
kini membicarakan kehidupan. Akhirnya, sampailah pada puncak ilmu pengetahuan
yang diberi nama sosiologi yang mengambil objek' penyelidikannya gejala-gejala
kemasyarakatan yang terdapat pada makhluk-makhluk hidup yang merupakan objek
biologi, ilmu sebelum sosiologi. Karena istilah sosiologi merupakan puncak dan
penghabisan untuk usaha ilmiah seluruhnya, sosiologi baru dapat berkembang
sesudah ilmu-ilmu lain mencapai kematangan. Oleh karena itu, Comte beranggapan
bahwa selaku `pencipta' sosiologi, ia menghantarkan ilmu pengetahuan masuk ke
tahap positifnya. Dengan demikian, merancang sosiologi, Comte mempunyai maksud
praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum.- hukum yang menguasai
masyarakat mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna. (Juhaya S.
Pradja, 2000 : 92)
Dengan demikian, positivisme adalah aliran filsafat
yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu. yang di luar fakta atau
kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Menurut Auguste Comte (1798 - 1857 M), indra itu amat
penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu
dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indra akan dapat dikoreksi lewat
eksperimen. Eksperimen memerlukan. ukuran-ukuran yang jelas. Panas diukur
dengan derajat panas, jauh diukur denglan meteran, berat dengan
kiloan, clan sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari
panas; kopi panas, ketika panas. Kita juga tidak cukup mengatakan palms sekali,
panas, tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan
sains benar-benar dimulai.
Positivisme bukanlah
suatu aliran yang khas berdiri sendiri. la hanya menyempurnakan empirisme dan
rasionalisme yang bekerja sama. Dengan
kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen clan
ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme
plus rasionalisme.
No comments:
Post a Comment