Categories

Thursday, 2 May 2013

Pengertian Positivisme

A.    Pengertian Positivisme
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798 – 1857) yang tertuang dalam karya utama Auguste Comte adalah Cours de Philosophic Positive, yaitu Kursus tentang Filsafat Positif (1830 – 1842) yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karyanya yang pantas disebutkan di sini ialah Discour L'esprit Positive (1844) yang artinya Pembicaraan tentang Jiwa Positif. Dalam karya inilah, Comte menguraikan secara singkat pendapat-­pendapat positivis, hukum tiga stadia, klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan dan bagan mengenai tatanan dan kemajuan. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 89),
Positivisme berasal dari kata "positif". Kata "positif" disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak oleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Kemudian, filsafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena itu pulalah, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan "hakikat" benda-benda atau "penyebab yang sebenarnya", bagi positivisme, tidaklah mempunyai arti apa-apa. Ilmu pengetahuan, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beragam coraknya. Tentu saja, maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja, berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan. Positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut. Ia hanyalah mengandalkan fakta-fakta belaka. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 89)
B.     Perspektif Positivistik tentang Masyarakat
Meskipun Comte yang memberikan istilah "positivisme", gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan berasal dari dia. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-­hukumnya sudah tersebar luas lingkungan intelektual pada masa Comte. Akan tetapi, sementara kebanyakan kelompok positivis berasal dari kalangan orang-orang yang progresif, yang bertekad mencampakkan tradisi­-tradisi irasional dan memperbaharui masyarakat menurut hukum alam sehingga menjadi lebih rasional, Comte percaya bahwa penemuan hukum­hukum alam itu akan membukakan batas-batas yang pasti yang (inherent) dalam kenyataan sosial, dan jika melampaui batas-batas itu, usaha pembaharuan akan merusakkan dan menghasilkan yang sebaliknya. Skeptisisme Comte berhubungan dengan usaha-usaha pembaharuan besar­besaran serta penghargaan terhadap tonggak-tonggak keteraturan sosial tradisional menyebabkan dia dimasukkan ke dalam kategori orang konservatif.
Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih daripada sekadar jumlah bagian-bagian yang saling bergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empiris ,harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.
Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah sebagai puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis yang telah dilewati oleh ilmu-ilmu lainnya. Kemajuan ini mencakup per­kembangan dari bentuk-bentuk pemikiran teologis purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang posifif. Bidang sosiologi (atau fisika sosial) adalah paling akhir melewati tahap-tahap, ini, karena pokok permasalahannya lebih kompleks daripada yang terdapat dalam ilmu fisika dan biologi.
C.    Hukum Tiga Tahap
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dan masa primitif sampai peradaban Perancis abad kesembilan belas yang sangat maju. Hukum ini, yang mungkin paling terkenal dan gagasan-gagasari teoretis pokok Comte, tidak lagi diterima sebagai suatu penjelasan mengenai perubahan sejarah secara memadai. Juga terlalu luas dan umum sehiquga tidak dapat benar-benar tunduk pada pengujian empiris secara teliti, yang menuntut Comte harus ada untuk membentuk hukum-hukum sosiologi.
Singkatnya, hukum itu menyatakan baj'hwa masyarakat (atau umat manusia) berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, yaitu teologis, metafisik, dan positif.
  1. Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisis yang lebih terperinci, Comte membaginya ke dalam periode fetisisme, politeisme, dan monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Akhirnya, fetisisme ini diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal supernatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam, terus mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak idea itu diganti dengan kepercayaan akan satu yang tertinggi. Katolisme pada abad pertengahan memperlihatkan puncak tahap monoteisme.
2.   Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum­hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Protestantisme dan Deisme memperlihatkan penyesuaian yang berturut­turut dari semangat teologis kepada munculnya semangat metafisik yang mantap. Satu manifestasi yang serupa dan semangat ini dinyatakan dalam Declaration of Independence: "Kita menganggap kebenaran ini jelas dari dirinya sendiri ...... Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik.
3. Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan .data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Akan tetapi, pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas dasar pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Analisis rasional mengenai data empiris akhirnya memungkinkan manusia untuk mem­peroleh hukum-hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris lebih daripada kemutlakan metafisik. (Doyle Paul Jhonson, Robert MZ. Lawang, 86)
D.    Prinsip-Prinsip Keteraturan Sosial
Sejalan dengan perspektif organiknya, Comte sangat menerima saling ketergantungan yang harmonis antara "bagian-bagian" masyarakat, clan sumbangannya terhadap bertahannya stabilitas sosial. Meskipun keteraturan sosial dapat terancam oleh anarki sosial, moral, dan intelektual, selalu akan diperkuat kembali. Sesungguhnya periode sejarah yang lama sudah ditandai oleh stabilitas yang berarti, dan sebagian tugas Comte, yang dia berikan sendiri adalah menemukan sumber-sumber stabilitas ini.
Analisis Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang normatif dengan mengguna­kan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek.
E.     Tiga Zaman Perkembangan Pemikiran Manusia
Titik tolak ajaran Comte yang terkenal adalah tanggapannya atas perkembangan pengetahuan manusia, baik perseorangan maupun umat manusia secara keseluruhan, melalui tiga zaman atau tiga stadia. Menurutnya, perkembangan menurul tiga zaman ini merupakan hukum yang tetap. Ketiga zaman itu ialah zaman teologis, zaman metafisis, dan zaman ilmiah atau positif.
  1. Zaman Teologis
Pada zaman teologis, manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Zaman teologis dapat dibagi lagi menjadi tiga periode berikut :
a.  Animisme. Tahap animisme merupakan tahapan paling primitif karena benda-benda dianggap mempunyai jiwa
b. Politeisme. Tahap politeisme merupakan perkembangan dari tahap pertama, pada tahap ini, manusia percaya pada dewa yang masing­masing menguasai suatu lapangan tertentu; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar, dan sebagainya.
c.  Monoteisme. Tahap monoteisme ini lebih tinggi daripada dua tahap sebelumnya, karena pada tahap ini, manusia hanya memandang satu Tuhan sebagai penguasa.
  1. Zaman Metafisis
Pada zaman ini, kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep dan prinsip yang abstrak, seperti "kodrat" dan "penyedap". Metafisika pada zaman ini dijunjung tinggi.
  1. Zaman Positif
Zaman ini dianggap Comte sebagai zaman tertinggi dari kehidupan manusia. Alasannya ialah pada zaman ini tidak lagi ada usaha manusia untuk mencari penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Manusia kini telah membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta­fakta yang disajikan kepadanya., Atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusla berusaha menetapkan relasi atau hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta-fakta. Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Hukum tiga zaman tidak saja berlaku pada manusia sebagai allak manusia berada pada zaman teologis, pada masa remaja, ia masuk-zaman metafisis dan pada masa dewasa, ia memasuki zaman positif. Demikian pula, ilmu pengetahuan berkembang mengikutiiiga zaman tersebut yang akhirnya mencapai puncak kematangannya pada zaman positif. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 90 dan lihat K. Bertens, 73 - 74)
F.     Susunan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan tidak semuanya mencapai kematangan yang sama pada saat yang bersamaan. Oleh karena itu, memungkinkan untuk melukiskan perkembangan ilmu pengetahuan berdasarkan rumitnya bahan yang dipelajari di dalamnya. Urutan perkembangan ilmu pengetahuan tersusun sedemikian rupa sehingga yang satu selalu mengandalkan ilmu pengetahuan yang lain mendahuluinya. Dengan demikian, Comte membedakan enam ilmu pengetahuan pokok, yaitu: ilmu pasti, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan puncaknya pada sosiologi. Semua ilmu pengetahuan, menurut Comte, dapat dijabarkan kepada salah satu dari enam ilmu tersebut.
Ilmu pasti merupakan ilmu yang paling fundamental dan menjadi pembantu bagi semua ilmu lainnya. Selain relasi-relasi matematis, astronomi membicarakan juga tentang gerak. Dalam fisika ditambah lagi dengan penelitian tentang materi. Selanjutnya, kimia membahas proses perubahan yang berlangsung dalam materi yang telah dibicarakan dan dikupas dalam fisika. Perkembangan selanjutnya menjelma dalam biologi Yang kini membicarakan kehidupan. Akhirnya, sampailah pada puncak ilmu pengetahuan yang diberi nama sosiologi yang mengambil objek' penyelidikannya gejala-gejala kemasyarakatan yang terdapat pada makhluk-makhluk hidup yang merupakan objek biologi, ilmu sebelum sosiologi. Karena istilah sosiologi merupakan puncak dan penghabisan untuk usaha ilmiah seluruhnya, sosiologi baru dapat berkembang sesudah ilmu-ilmu lain mencapai kematangan. Oleh karena itu, Comte beranggapan bahwa selaku `pencipta' sosiologi, ia menghantarkan ilmu pengetahuan masuk ke tahap positifnya. Dengan demikian, merancang sosiologi, Comte mempunyai maksud praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum.- hukum yang menguasai masyarakat mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 92)
Dengan demikian, positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu. yang di luar fakta atau kenyataan dikesam­pingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Menurut Auguste Comte (1798 - 1857 M), indra itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indra akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan. ukuran-ukuran yang jelas. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur denglan meteran, berat dengan kiloan, clan sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari panas; kopi panas, ketika panas. Kita juga tidak cukup mengatakan palms sekali, panas, tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. 
Positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. la hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen clan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme plus rasionalisme.

FILSAFAT EKSISTENSIALISME

A. Pengertian Eksistensialisme
Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu.[1] Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut akan dipaparkan pengertiannya.

Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada).[2]

Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.[3]

Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.[4] Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.[5]

B. Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang mengguncangkan dunia walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik.[6]

Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji[7]. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:

1. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.[8]

2. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.[9]

3. Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.[10]

C. Tokoh-tokoh Eksistensialisme dan Ajarannya
Tokoh-tokoh eksistensialisme ini cukup banyak, di antaranya: Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, Gabriel Marcel, dan Sartre. Namun dalam makalah ini penulis membatasi pada dua tokoh ini yang dipandang mewakili tokoh-tokoh lainnya, yaitu Soren Aabye Kierkegaard dan Jean Paul Sartre.

1. Soren Aabye Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) lahir di Kopenhagen, Denmark. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia mulai belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran.[11]

Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku pertamanya (disertasi MA) Om Begrebet Ironi (The Concept of Irony). Karya ini sangat orisinal dan memperlihatkan kecemerlangan pemikirannya. Ia mengecam keras asumsi-asumsi pemikiran Hegel yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma dalam Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding Unscientific Postcript) tahun 1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada kebenaran subyek. Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske Smuler (1844). Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847, Christelige Taler (Christian Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The Sickness into Death) tahun 1948). [12]

Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:

a. Tentang Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi" bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.[13]

Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani.[14]

Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.[15] Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.[16]
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.[17]

b. Pandangan tentang Eksistensi

Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya.[18]

Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan rligius.[19]

· Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.

· Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).

· Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.

c. Teodise

Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.[20]

Selanjutnya ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil langkah yang dahsyat, langkah menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah segala-galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya atau memihak kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak tetapi bisa juga salah secara mutlak.[21]

2. Jean Paul Sartre Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal, terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini memberi ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada negatif terhadap hidup masa kanak-kanaknya.[22]

Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.[23]

Sartre tidak pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah. Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme dan para pemikir yang memuja idealisme.[24]

Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being ang Nithingness, buku ini membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme dan Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.[25]
Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:
a. Tentang Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.[26]

Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.[27]

2. Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan L'etre-en-Soi
Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya monumentalnya L'etre et Le neant (Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada dua macam "etre" atau :'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam dirinya sendiri).
a. L'etre-en-Soi (being in itself/ada dalam dirinya sendiri)
L'etre-en-Soi sama sekali identik dengan dirinya. L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga paisf, tidak afirmatif dan juga tidak negatif: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai masa silam, masa depan: tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang berarti ia ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan, dari sesuatu yang lain. Jadi ada dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini untuk menunjukkan eksistensi di dalamnya seseorang bertindak sebagai sesuatu yang ada begitu saja, tanpa menyadari bahwa pilihan otentik, bebas, terbuka bagi semua tindakan seseorang. Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah milik semua benda dan manusia sejauh mereka bertindak sebagai obyek yang diam.[28]
b. L'etre-pour-Soi
Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya dengan etre-en-soi. Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang pekerja. Kalau benda-benda itu tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar bahwa ia berada. Di dalam kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada yang menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.[29]

3. Mauvaise Foi
Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal tidak mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini menghindar tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga mengandung pengertian kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.[30]

4. Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.[31]
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.[32]

D. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Meski bermacam-macam pandangan dan metode dan sikap dalam gerakan eksistensialisme, para filsuf dari kelompok ini senantiasa memperhatikan kedudukan manusia. Titik sentral pembicaraan mereka adalah soal keterasingan manusia dengan dirinya dan dengan dunia.
2. Gerakan eksistensialisme ini muncul sebagai protes atau reaksi dari aliran filsafat terdahulu, yaitu materialisme dan idealisme serta situasi dan kondisi dunia pada umumnya yang tidak menentu. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi.
3. Kierkegaard dan Sartre merupakan tokoh yang mewakili aliran eksistensialime ini. Dari latar belakang yang berbeda yang satu agamawan dan lainnya atheis, mereka mengusung konsep tentang keberdaan manusia sebagai subyek di dunia ini.

DAFTAR PUSTAKABeerling, R.F. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin, Djakarta:Balai Pustaka.
Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme, Jakarta:Rineka Cipta.
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:Kanisius.
Hasan, Fuad. 1974. Kita dan Kami, Jakarta:Bulan Bintang.
Tafsir, Ahmad. 1992. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Titus, Smith dan Nolan. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi Jakarta:Bulan Bintang.


[1] Fuad Hasan, Kita dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang. 1974), hlm. 8.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1992), cet. ke-2, hlm. 191.
[3] Ibid.
[4] Hasan, Kita dan Kami, hlm. 7.
[5] Tafsir, Filsafat Umum, hlm192-193.
[6] Ibid, hlm. 190.
[7] R.F. Beerling, Filsafat Dewasa Ini.Terj. Hasan Amin (Djakarta:Balai Pustaka.1966), hlm. 11.
[8] Tafsir, Filsafat Umum, hlm192.
[9] Ibid, hlm. 193-194.
[10] Ibid, hlm. 194.
[11] Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta:Rineka Cipta. 1990), cet. ke-1, hlm. 47.
[12] ibid, hlm. 48-49.
[13] Ibid, hlm. 49
[14] Ibid.
[15] Tafsir, Filsafat Umum, hlm. 195
[16] Smith Titus dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi (Jakarta:Bulan Bintang. 1984), hlm. 388.
[17] Ibid.
[18] Dagun, Filsafat Eksistensialisme, hlm. 50-51.
[19] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta:Kanisius. 1980), hlm. 125.
[20] Dagun, Filsafat Eksistensialisme, hlm.52.
[21] Nolan, Persoalan-persoalan, hlm. 388.
[22] Dagun, Filsafat Eksistensialisme, hlm.94.
[23] Ibid.
[24] Ibid, hlm. 95
[25] Ibid, hlm. 95-96.
[26] Ibid, hlm. 96.
[27] Ibid.
[28] Ibid, hlm 100-102.
[29] Ibid, hlm. 102.
[30] Ibid, hlm. 106.
[31] Ibid, hlm. 106-108.
[32] Ibid, hlm. 108.